Ulumul Qur'an
Juni 2021
Oleh :
Dra. Nihayatul Laili Yuhana, M.PdI
PENYULUH AGAMA ISLAM FUNGSIONAL
KANTOR KEMENTRIAN AGAMA KAB. NGANJUK
A. Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologis, kata
al-qur’an merupakan mashdar dari kata qa-ra-a, berarti “bacaan,” dan “apa yang
tertulis padanya”. Berkaitan dengan asal Al-qur’an, terdapat beberapa
pendapat. Pertama, Al-Syafi’i (150-204H) berpendapat bahwa kata al-quran
ditulis dan dibaca tanpa hamzah dan tidak diambil dari kata lain. Ia
adalah nama yang khusus dipakai untuk kitab suci yang diberikan kepada nabi
Muhammad, sebagaimana kitab injil dan taurat dipakai khusus untuk kitab-kitab
Tuhan yang diberikan kepada nabi Isa dan Musa.
Ditinjau dari
aspek terminologis, ada beberapa definisi yang dikemukaan oleh para ulama. Manna’
al-Qaththan menyatakan dalam kitabnya yang di beri nama “.............” bahwa
al-qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, dan
dinilai ibadah bagi yang membacanya. Sementara Al-Amidi mendefinisikan
al-qur’an sebagai kalam Allah, mengandung mukjizat, dan diturunkan kapada
Rasulullah Muhammad SAW, dalam bahasa arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya
secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah,terdapat dalam mushaf, dimulai
dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nas. Menurut Khallaf,
al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah Muhammad
bin Abdullah, melalui jibril dengan menggunakan lafadz bahasa arab dan maknanya
yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rasul, bahwa ia benar-benar Rasulullah,
menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka dan menjadi
sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan
membacanya. Ia terhimpun dalam mushhaf, dimulai dari surat al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat al-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir dari
generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari perubahan
dan pergantian.
Mengacu kepada definisi di atas, beberapa ulama kemudian menyimpulkan bahwa
al-quran itu memeiliki beberapa ciri: pertama, al-Qur’an merupakan kalam Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kedua, al-Qur’an diturunkan dalam
bahasa arab. Ketiga, al-qur’an itu dinukilkan kepada beberapa generasi
sesudahnya secara mutawatir(dituturkan oleh banyak orang kepada banyak orang
sekarang). Keempat, membaca setiap kata dalam al-Qur’an itu mendapat pahala
dari Allah, baik bacaan itu berasal dari hafalan sendiri maupun dibaca langsung
dari mushaf Al-Qur’an. Kelima, Al-Qur’an itu dimulai dari surat al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat al-Nas.
B. Kandungan dan fungsi
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab sarat dengan kandungan, mulai hukum, akidah, etika,
hubungan sosial dan sebagainya. Dari keseluruhan isi al-Qur’an, sebagaimana
dikatakan oleh Kallaf, pada dasarnya mengandung pesan-pesan:
1. Masalah tauhid, termasuk di dalamnya
masalah kepercayaan terhadap yang gaib;
2. Masalah ibadah, yaitu kegiatan-kegiatan
dan perbuatan-perbuatan yang mewujudkan dan menghidupkan di dalam hati dan
jiwa;
3. Masalah janji dan ancaman, yaitu janji
dengan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan ancaman atau siksa bagi
mereka yang berbuat jahat, janji akan memperoleh kebahagian dunia akherat, dan
ancaman akan mendapat kesengsaraan dunia akherat, janji dan ancaman di akhirat
berupa surga dan neraka;
4. Jalan menuju kebahagiaan dunia-akhirat,
berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi agar dapat
mencapai keridhohan Allah; dan
5. Riwayat dan cerita, yaitu sejarah
orang-orang terdahulu, baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh, maupun Nabi dan
Rosul Allah.
Ditinjau secara garis besar dari hukum-hukum yang terkandung di dalamnya,
kandungan al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi tiga.
Pertama, hukum-hukum
yang berkenaan dengan i’tiqad(kenyakinan) yaitu hukum-hukum yang berhubungan
dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, dan rasul-rasul-Nya.
Kedua, hukum-hukum yang
berkenaan dengan akhlak(etika), yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan
perilaku hati yang mengajak manusia untuk berakhlak mulia dan berbudi luhur.
Ketiga,
hukum-hukum yang berkenaan dengan amaliyyah (tindakan praktis), yaitu
hukum-hukum yang berhubungan dengan semua tndakan yang dilakukan oleh manusia
secara nyata, meliputi ucapan serta perbuatan yang berhubungan dengan
perintah,larangan, dan penawaran yang terdapat al-Qur’an.
Pokok kandungan yang ketiga ini secara dimensional mencakup pola hubungan
vertikal dan horisontal. Amaliyyah yang berdimensi vertikal adalah amaliyyah
yang berkanaan dengan hubungan dengan hamba dengan Allah. Bentuknya adalah
ibadah. Bentuk ibadah antara lain: mahdlah, seperti sholat dan puasa. Ada
berbentuk ghairu mahdlah yang juga mengandung maliyyah-ijtima’iyyah
(sosial-kebendaan) seperti zakat dan juga badaniyyah-ijtima’iyyah
(sosial-kejasmani) sebagaimana haji. Keempat jenis ibadah ini(shalat,
puasa,zakat, dan haji) dijadikan sebagai dasar Islam setelah iman.
Adapun amaliyyah yang berdimensi horizontal adalah amaliyyah yang berkenaan
dengan hubungan antar hamba satu dengan yang lainnya. Amaliyyah jenis ini dapta
diklasifikasikan menjadi empat macam:
1, Aturan syari’at yang berorientasi
perluasan dan pengamanan dakwah Islam, yaitu jihad;
2. Aturan syari’at yang berorientasi
membangun tatanan rumah tangga sebagaimana hal ihwal perkawinan, talak, nasab,
pembagian harta warisan dan lain sebagainya.
3. Aturan yang berorientasi pada regulasi
hubungan antar manusia seperti jual beli, persewaan,dll yang dikenal dengan
mu’amalah(transaksi).
4. Aturan atau undang-undang yang memuat
sanksi atas tindak kejahatan. Hal ini diterapkan dengan qishash dan had.
Menurut M. Quraish Shihab, al-Qur’an turun dengan memiliki beberapa fungsi:
1. Bukti kerasulan Muhammad dan kebenaran
ajarannya;
2. Petujuk akidah dan kepercayaan yang
harus dianut oleh manusia;
3. Etunjuk mengenai akhlak yang murni
dengan jalan menerangkan norma-norma keagaman dan susila yang harus diikuti
oleh manusia dalam kehidupannya secara individual dan kolektif;
4. Petunjuk syari’at dan hukum dengan
jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia. Atau dengan kata lain, al-Qur’an
adalah petunjuk bagi seluruh manusia kejalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan
hidup di dunia dan akherat.
C. Asbab al-Nuzul
Proses turunnya wahyu adakalanya dilatarbelakangi oleh sebuah peristiwa, atau
pertanyaan sahabat, dan adakalanya tanpa sebab yang menjadi latar belakangnya.
Artinya, ada ayat yang turun tanpa ada preseden yang mandahulinya. Ayat
dalam kategori semacam ini turun memang atas kehendak Allah.
Asbab al-nuzul adalah hal-hal yang diungkapkan atau dijelaskan hukumnya oleh
suatu ayat atau beberapa ayat pada saat ayat tersebut diturunkan. Secara
lebih jelas, yang dimaksud dengan asbab al-nuzul adalh peristiwa yang terjadi
pada masa Rasulullah atau pertanyaan-pertanyaan yang dating dari kalangan
sahabat yang mana pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi perhatian khusus
Rasulullah.
Ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dengan mengetahui asbab al-nuzul.
Pertama, mengetahui hikmah pensyari’atan suatu hukum. Kedua, membantu
pemahaman makna suatu ayat serta menjelaskan isykal ( kejanggalan atau kesulitan
makna). Ketiga, menepis persangkaan hasr (ketentuan pada suatu hal
semata). Sebagaiman firman Allah dalam surat al-An’am [6]:145. Imam
al-Syafi’i mengatakan bahwa orang-orang kafir menganggap haram terhadap apa
yang dihalalkan oleh Allah, menganggap halal apa yang diharamkan oleh Allah,
dan selalu berseberangan dan bertentangan dengan syari’at-Nya, maka turunlah
ayat ini dengan tujuan menentang kehendak mereka.
Keempat, men-takhshish hukum dengan asbab al-nuzul ayat. Kelima,
mengetahui bahwa sebab turunnya ayat tidak keluar dari cakupan keumuman
hukumnya, walaupun ada keterangan yang men-takhshish keumuman ayat.
Keenam, mengetahui tentang apa dan tentang siapa ayat diturunkan.
Ketujuh, secara psikologis dapat memudahkan penghafalan dan menancapkan kefahaman
bagi orang yang mendengarkan ayat ssekaligus mengetahui latar belakang
turunnya.
Asbab al-nuzul bisa ditinjau dari berbagai aspek. Salah satunya ditinjau
dari aspek bentuknya. Pertama, berbentuk peristiwa. Kedua,
berbentuk pertanyaan. Asbab al-nuzul berbentuk peristiwa ada tiga macam,
pertengkaran; kesalahan yang serius; dan cita-cita dan harapan. Asbab
al-nuzul yang bentuk pertanyaan dibagi menjadi tiga macam pula, yaitu
pertanyaan tentang masa lalu, masa yang sedang berlangsung, dan masa yang akan
datang.
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang menurun, asbab al-nuzul dapat dibagi
menjadi ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid (sebab turunnya lebih dari satu dan
inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat
yang 4444turun satu) dan ta’addud al-nazil wa al-asbab wahid (inti
persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari
satu sedangkan sebab turunnya satu). Sebab turunnya ayat disebut ta’addud
bila ditemukan dua riwayat yang berbeda atau lebih tentang sebab turun suatu
ayat atau sekelompok ayat tertentu. Sebaliknya, sebab itu disebut wahid
atau tunggal bila riwayatnya hanyu ayat satu. Suatu ayat atau sekelompok
ayat yang turun disebut ta’addud al-nazil, bila inti persoalan yang terkandung
dalam ayat yang turun sehubungan dengan sebab tertentu lebih dari satu
persoalan.
Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turunnya ayat dan
masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebut
lawannya, maka kedua riwayat ini diteliti dan dianalisis. Permasalahannya
ada empat bentuk. Pertama, salah satu dari keduanya sahih dan yang
lainnya tidak. Kedua, keduanya sahih. Akan tetapi salah satunya
mempunyai penguat (murajjih), dan yang lainnya tidak. Ketiga, keduanya
sahih dan keduanya sama-sama tidak mempunyai penguat (murajjih).
Akan tetapi keduanya dapat diambil sekaligus. Bentuk keempat, keduanya
sahih, tidak mempunyai penguat (murajjih), dan tidak mungkin mengambil keduanya
sekaligus.
Bentuk pertama diselesaikan dengan jalan memegangi riwayat yang sahih dan
menolak yang tidak sahih. Bentuk kedua penyelesainnya dengan mengambil
yang kuat (rajihah). Penguat (murajjih) itu adakalanya salah satunya
lebih sahih dari yang lainnya atau periwayat salah satu dari keduanya
menyaksikan kisah itu berlangsung sedang periwayat lainnya tidak
demikian. Bentuk ketiga penyelesainnya dengan menganggap terjadinya
beberapa sebab bagi turunnya ayat tersebut. Adapun bentuk keempat
penyelesainnya dengan menganggap berulang-ulangnya ayat itu turun sebanyak
asbab al-nuzul-nya.
5. Riwayat dan cerita, yaitu sejarah
orang-orang terdahulu, baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh, maupun Nabi dan
Rosul Allah.
3. Asbab al-nuzul adalah hal-hal yang
diungkapkan atau dijelaskan hukumnya oleh suatu ayat atau beberapa ayat pada
saat ayat tersebut diturunkan. Ada banyak manfaat yang dapat
diperoleh dengan mengetahui asbab al-nuzul:
a) mengetahui hikmah
pensyari’atan suatu hukum
b) membantu pemahaman makna
suatu ayat serta menjelaskan isykal ( kejanggalan atau kesulitan makna).
c) menepis persangkaan hasr
(ketentuan pada suatu hal semata)
d) men-takhshish hukum
dengan asbab al-nuzul ayat
e) mengetahui bahwa sebab
turunnya ayat tidak keluar dari cakupan keumuman hukumnya
f) mengetahui tentang apa
dan tentang siapa ayat diturunkan
g) secara psikologis dapat
memudahkan penghafalan dan menancapkan kefahaman bagi orang yang
mendengarkan ayat ssekaligus mengetahui latar belakang turunnya
Komentar
Posting Komentar