MEMAHAMI TALAQQI DALAM TINJAUAN AL-QUR’AN (Kajian Tafsir Tematik)

 

 

 

 

MEMAHAMI TALAQQI

DALAM TINJAUAN AL-QUR’AN

(Kajian Tafsir Tematik)

Oleh : Nihayatul Laili Yuhana, M.PdI  ( Penyuluh Agama Fungsional Kab.Nganjuk )

 




Abstrak: Kajian ini memilih tema konsep talaqqi dalam proposisi al-Qur’an. Kajian yang termasuk genre tafsir tematik ini berdasrkan penelitian berbasis library research, bersifat kualitatif deskriptif, dan menggunakan data primer al-Qur’an beserta Tafsir ‘Ibnu ‘Asyur. Di dalam kajian ini ada tiga rumusan pertanyaan: pertama, apa pengertian dan urgensi metode talaqqi? Kedua, apa urgensi menggunakan tafsir tematik? Ketiga, bagaimana ayat-ayat al-Quran berbicara mengenai talaqqi? Dengan menggunakan konten analisis, penulis mencoba mencari jawaban secara memadai yang dihaturkan kepada sidang pembaca agar mengetahui definisi dan urgensi talaqqi dan urgensi adanya tafsir tematik serta mengetahui serangkaian ayat-ayat al-Qur’an beserta tafsir yang mendukung terhadap konsep talaqqi. Kata Kunci: Talaqqi, Tafsir Tematik.

 

PENDAHULUAN

 

Dahsyatnya perkembangan zaman serba HP yang penuh daya pikat fitur-fitur millenial sebagai pertanda utama arus deras globalisasi kini menyebabkan banyak pemerhati agama dan pendidikan menjadi was-was terkait perkembangan dunia anak, remaja bahkan kaum dewasa. Hal itu dikarenakan zaman serba HP ini telah menimbulkan merajalelanya pergeseran nilai di kalangan generasi millenial.

 

Dulu orang menilai penting segera mendatangi panggilan dan keperluan seorang ibu, misalnya, kini berubah bergeser menjadi lebih menilai lebih penting untuk segera dan terus saja membuka-buka HP. Dulu orang menilai penting silaturrahim langsung, kini berubah bergeser menjadi merasa cukup berkomunikasi dengan medsos. Dulu orang menilai penting dan merasa berharga dengan menjalani proses belajar penuh romantika keprihatinan dalam rangka belajar al-Qur’an ataupun mencari pengetahuan dengan menghadap kepada guru atau ‘ulama secara langsung, kini berubah bergeser merasa cukup puas hanya “belajar” kepada berbagai aplikasi dari play store, atau dari blog, youtube dan tentu saja google search dan lain sebagainya.

 

Memperoleh informasi, ilmu, dan pengetahuan dengan cara talaqqi, dan memperoleh kompetensi membaca dan menghapal al-Qur’an dengan talaqqi, yakni dengan cara tatap muka, sungguh mendapatkan momen massif untuk diaktualkan kembali urgensinya. Sebab, sebagaimana diketahui, pada masa pandemi covid-19, antara tahun 2020 sampai 2021, pembelajaran adalah lewat HP, tanpa ada tatap muka antara peserta didik dan guru di setiap harinya. Fenomena massif pembelajaran non-tatap-muka demikian itu dari beberapa perspektif tentu cukup potensial membuat gundah kita bersama.

 

Maka pada saat demikian ini kita merindukan pembelajaran yang berisi instruksi langsung, interaksi yang berkualitas, yang terdiri dari bimbingan guru dan response murid atau peserta didik, yang mana demikian itu disebut praktek talaqqi.

 

Dalam kesempatan penulisan kajian tafsir tematik ini, tema talaqqi akan dikaitkan dengan akar proposisinya berupa ayat-ayat al-Qur’an beserta tafsirnya yang relevan. Dengan kata lain, kajian kita kali ini ialah: talaqqi yang dicerahkan oleh al-Qur’an.

 

Pengertian dan Urgensi Talaqqi

 

Al-Qur’an merupakan wahyu yang diyakini kebenarannya dan sebagai sumber utama dalam ajaran Islam. Karena kitab ini hadir untuk membantu manusia di dalam memahami dan menghayati tentang Islam serta pelita bagi umat manusia di dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Sebagai wahyu yang diyakini, maka banyak pesan yang terdapat dalam al-Qur’an yang dapat diambil pelajaran dan peringatan bagi setiap manusia. Kitab suci ini diturunkan secara berangsur-angsur, dan menjadi mukjizat yang abadi hingga akhir zaman. Sebagai wahyu ilahi, al-Qur’an memuat berbagai macam informasi, aturan, serangkaian pengetahuan tentang keimanan, kisah-kisah sejarah,  kisah-kisah keteladanan, aturan-aturan hukum Islam dan serangkaian kode etik akhlak, juga memuat dalil-dalil kebenaran dan keyakinan, sanksi dan balasan, dan juga permisalan, serta redaksi-redaksi permohonan. Al-Qur’an sebagai kitab suci telah mengetengahkan term-term kualifikasi hidup berkualitas dan bermartabat. Salah satu term yang cukup krusial dan urgens untuk diaktualkan dewasa ini yang terdapat dalam al-Qur’an yaitu talaqqi.

 

Pada dasarnya term talaqqi adalah bermula dari kisah Nabi Adam ‘Alaihis Salam di sorga talaqqa kalimatin (mendapat pelajaran-ilmu-pengetahuan) dari Allah ‘Azza Wa Jalla. Juga talaqqi-nya Baginda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Malaikat Jibril ‘Alaihis Salam ketika memperoleh wahyu al-Qur’an. Lalu dilanjutkan talaqqi demikian itu menjadi cara belajar dan mengajar Al-Qur'an dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada para sahabat beliau, dan kemudian oleh mereka diteruskan ke generasi selanjutnya dan terus ke generasi selanjutnya hingga kini dengan metode talaqqi juga.

 

Pembelajaran dengan cara talaqqi pada prakteknya ialah seorang murid atau beberapa murid berhadapan atau bertatap muka langsung dengan gurunya untuk memperoleh bimbingan ilmu pengetahuan dan pembelajaran sehingga ketika ada seorang murid melakukan kesalahan dalam pemahaman maka guru langsung bisa membenarkan dan pada saat itu juga murid tersebut bisa memperbaiki kesalahannya. Talaqqi ini utamanya berlaku lazim di dalam pembelajaran membaca dan menghafal al-Qur’an, dan secara luas berlaku pula pada setiap pembelajaran selain membaca dan menghapal al-Qur’an.

 

Kata talaqqi dari sudut pandang morfologi, merupakan shighat masdar dari fi’il madli “talaqqa” yang berarti “menemui”, “menjumpai”1 , atau dalam kamus Arab-Inggris diterjemahkan “to receive“, “encounter”2 .     

 

Adapun dari sudut pandang terminologi, talaqqi didefinisikan oleh para ahli, antara lain, sebagai berikut:

 

Menurut J. Muhammad, talaqqi adalah “belajar ilmu agama secara langsung kepada guru yang mempunyai kompetensi ilmu, tsiqah, dhabit dan mempunyai sanad keilmuan yang muttashil sampai ke Rasulullah Shallaahu ‘Alaihi Wasallam melalui para ‘ulama.3

 

Menurut Hasan bin Ahmad bin Hasan Hamam talaqqi adalah belajar secara langsung kepada seseorang yang ahli dalam membaca al-Qur’an.4  Metode talaqqi juga sering disebut musyafahah, di mana guru dan murid berhadap-hadapan secara langsung, individual, tatap muka, face to face. 5

 

Menurut Sa’dulloh, makna talaqqi adalah menyetorkan atau memperdengarkan hafalan yang baru dihafal kepada seorang guru atau intruktur.6

 

Sedangkan menurut Nur Halimah, talaqqi artinya belajar ilmu agama secara langsug kepada guru yang mempunyai kompetensi ilmu.7

 

Dari berbagai definisi yang dipaparkan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa talaqqi ialah belajar ilmu agama dan atau belajar baca-hapal al-Qur’an, secara langsung, yakni tatap muka, face to face, kepada orang yang menjadi guru yang mempunyai kompetensi ilmu dan atau baca-hapal al-Qur’an, yang tsiqah, dhabit dan mempunyai sanad keilmuan dan atau al-Qur’an yang muttashil sampai ke Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

 

Urgensi Tafsir Tematik

 

Kata tafsir, secara etimologis, menurut Kamus Lisan al-‘Arab diartikan: “kasyf al-murad ‘an al-lafdzhi al-musykil” atau mengungkapkan makna lafal atau ungkapan yang sukar.8

 

Secara terminologis, menurut Dr. Ibrahim al-Jormy, tafsir ialah ilmu yang menguraikan penjelasan tentang maksud dari teks al-Qur’an dan makna apa saja yang dapat disimpulkan darinya.9

 

Senada dengan itu, Dr. Muhammad Husein al-Dzahabi merumuskan tafsir adalah ilmu untuk menggali maksud-maksud Allah dari dalam teks al-Qur’an, sesuai dengan kemampuan manusia, termasuk di dalamnya semua perangkat pendukung yang relevan untuk memahami dan menjelaskan maksud Allah tersebut.10

 

Adapun mengenai tafsir tematik, ia merupakan satu cabang dari kajian tafsir atas makna ayat-ayat al-Qur’an yang bersama mencerahkan tema tertentu, yang kemudian dideskripsikan secara tematik konseptual melalui petunjuk ayat al-Qur’an itu sendiri (intrateks), atau pun melalui petunjuk sesama ayat al-Qur’an (antarteks), maupun mengkolaborasikan teks dari sumber lain namun masih sangat erat relevansinya dengan al-Qur’an, seperti teks hadits, aqwal al-sahabat wal-tabi’in bahkan aqwal al-’ulama.11

 

Menurut prasaran banyak ahli tafsir modern, metodologi penafsiran al-Qur’an yang paling relevan untuk menjawab masalah atau kasus-kasus tertentu yang ada adalah penafsiran yang berbentuk kajian tafsir tematik. Dengan metode ini, penafsir akan dapat meletakkan ayat-ayat Alquran secara lebih proporsional dan lebih terukur pembahasannya sesuai kebutuhan terutama yang sedang aktual. 12

 

Umat Islam tentu menyadari sepenuhnya bahwa al-Qur’an memang penuh solusi atas berbagai masalah yang mereka hadapi. Hanya persoalannya, ketika masalah menghampiri mereka, ada satu kendala yang harus dilewati untuk mengakses langsung kepada al-Qur’an. Mereka mempunyai mushaf al-Qur’an, bahkan sebagian memiliki terjemah atau tafsirnya. Namun yang terjadi, sungguh memprihatinkan, meskipun di hadapan mereka ada al-Qur’an, mereka tak mampu mengakses petunjuk-petunjuknya secara instan, untuk menjawab problema-problema mereka? Hal itu antara lain terutama dikarenakan bahwa ayat-ayat, terjemah, dan tafsir tersebut masih belum diklasifikasikan oleh ahlinya dalam senarai tema-tema kekinian.

 

Keprihatinan di atas perlu mendapat respons dari pihak-pihak terkait, terutama para akademisi yang otoritatif di bidang studi al-Qur’an. Salah satunya melalui usaha penafsiran ayat-ayat al-Qur’an secara tematik, yang mampu menghadirkan pesan al-Qur’an secara instan dan solutif, sejalan dengan dinamika dan problematika masyarakat Islam kontemporer.

 

Cara ini ternyata efektif karena produk tafsir jenis ini mendapat sambutan luar biasa dari para peminat studi al-Qur’an khususnya, dan umat Islam pada umumnya. Indikatornya antara lain, buku Wawasan al-Qur’an karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab – sebagai salah satu produk tafsir tematik – termasuk salah satu karya terlaris (the best seller) di Indonesia.

 

Penafsiran al-Qur’an secara tematik merupakan langkah yang tepat untuk mengakselerasi proses ”pembumian al-Qur’an”. Melalui penafsiran tematik, petunjuk-petunjuk al-Qur’an dapat disampaikan secara jelas, tuntas, dan mudah dicerna, bagaikan menyajikan ”menu instan” yang siap disantap kapan dan di mana pun dibutuhkan. Hal ini sangat kondusif untuk masyarakat yang akhir-akhir cenderung berbudaya pragmatis, yaitu budaya yang berwatak praktis dan instan.

 

Dalam konteks ini, al-Farmawi, sebagaimana dikutip oleh Su’aib, mengatakan sebagai berikut: “Barangsiapa yang mengarahkan pandangan dan merenungkan secara seksama corak tafsir tematik ini, niscaya ia akan berpendapat bahwa ini merupakan usaha besar lagi terpuji untuk mengimbangi perkembangan pemikiaran dan kecenderungan umat manusia, untuk menghadapi dan memecahkan segala persoalan zaman modern, yang tidak jarang membuat generasi kita menjadi bingung dan sangat mendambakan fatwa agama. Seandainya kajian-kajian al-Qur’an melalui metode yang relevan dengan metodolongi modern ini bermunculan, niscaya manusia modern akan hidup tenang dan bebas dari kegoncangan pemikiran yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta akibat dan ketidakpedulian mereka terhadap agama.” 13

 

Pandangan al-Farmawi di atas, agaknya, hendak menegaskan dua keunggulan metode tafsir tematik. Pertama, metode ini adalah metode yang tepat untuk menafsirkan al-Qur’an saat ini, karena memiliki relevansi dengan pemikiran dan kecenderungan manusia modern. Kedua, keberhasilan penggunaan metode tafsir tematik merupakan solusi positif untuk mengeliminasi dampak negatif kemajuan ilmu dan teknologi.14

 

Ayat-ayat Talaqqi

 

Istilah talaqqi kalau ditulis Arab menjadi  تَـلَـقٍّ   atau الـتّــلَــقِّـي   

berasal dari fi’il madli tsulatsi mazid khumasi yang tasrif tiga shighatnya ialah

   يَـتَـلَـقَّى  تـلـقِّـيـًا  تَــلَـقَّـى   mengikuti wazan         تــفـعَّـل  يـتـفـعَّـل  تـفـعُّـلا

Di dalam Al-Qur’an, ayat yang secara persis menggunakan kata  تَــلَـقَّـى   ialah ada di dalam surat Al-Baqarah sebagaimana berikut:

 

فَتَلَقّٰٓى اٰدَمُ مِنْ رَّبِّهٖ كَلِمٰتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ ۗ  اِنَّهٗ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

"Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-Baqarah[2]:37). 15

Kata talaqqa di dalam ayat ini ditafsirkan oleh Ibnu ‘Asyur sebaagai “menerima kemuliaan dan kegembiraan.” 16

Kenapa kemuliaan dan kegembiraan, iya, karena lafal talaqqa – talaqqi itu menyimpan makna takalluf, ‘’berusaha mendapatkan”. Sesuatu yang diupayakan atau didinginkan untuk didapat tentu merupakan hal yang positif, yakni kemuliaan atau kegembiraan.

Lebih lanjut Ibnu ‘Asyur menyebutkan bahwa talaqqi-nya Nabi Adam ‘Alaihis Salam kepada Allah ‘Azza Wa Jalla adalah dengan teknik wahyu atau ilham.17  Wahyu atau ilham dalam konteks ini merujuk kepada arti munculnya inspirasi atau munculnya kesadaran secara cepat dan tersembunyi, tidak diketahui orang lain.18

Dari ayat di atas jelas bahwa sejak zaman Nabi Adam ‘Alaihis Salam jelas sudah ada aktifitas talaqqi di dalam konteks memperoleh pengetahuan, atau di dalam ayat di atas disebut sebagai ‘’kalimatin’’.

Kemudian ayat talaqqi berikutnya ialah ketika Allah ‘Azza Wa Jalla menyebutkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendapatkan wahyu Al-Qur’an secara talaqqi dari Allah ‘Azza Wa Jalla. Di dalam Surat An-Naml Allah berfirman:

وَاِنَّكَ لَتُلَقَّى الْقُرْاٰنَ مِنْ لَّدُنْ حَكِيْمٍ عَلِيْمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al-Qur’an dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Q.S. An-Naml [27]: 6).19

Kata tulaqqa yang ada di dalam ayat di atas merupakan fi’il mudhari’ mabni maf’ul dari asal madli laqqa, lalu yulaqqi, talqiyatan, dengan tasrif lughawinya yulaqqa, yulaqqani, yulaqqauna, tulaqqa, tulaqqani, yullaqqaina, tulaqqa.... Memang benar kata tulaqqa tersebut tidak berbunyi persis “talaqqi”. Akan tetapi perlu dicatat bahwa tulaqqa adalah memiliki akar kata yang sama dengan talaqqi, yaitu sama berasal dari akar kata laqiya, yalqa, liqa-an yang berarti ‘bertemu’ atau ‘menemui’.20

 

Terhadap kata tulaqqa ini, Ibnu ‘Asyur menguraikan tafsirnya sebagai berikut: “Kata tulaqqa ini merupakan bentuk mudlori’ dari laqqa-hu yang mabni majhul, yang artinya: ‘Dia jadikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertemu.’ Luqiyyu dan liqa’ artinya bertemunya satu hal dengan yang lain secara sengaja atau tidak sengaja. Talqiyah (yakni masdar dari tulaqqa) ialah praktik menjadikan sesuatu bertemu dengan lainnya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: 

نَـضْـرةً وَسُـرُورًا وَلَـقَّـاهُـم

‘... dan (Allah) memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.’ Jadi di sini ada permisalan tentang proses pewahyuan Al-Qur’an kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diserupakan dengan proses talqiyah, seakan Jibril ‘Alaihis Salam bertandang mempertemukan antara Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan Al-Qur’an.21

 

Bahkan kata tulaqqa bisa dimaknai sama dengan tutalaqqa yang se-musytaq bahkan satu arti dengan talaqqi sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-Atsier: “Kata yulaqqa juga mungkin satu arti dengan yutalaqqa,  yuta’allamu, yutawasha bih, yud’a ilaihi. 22 Dengan demikian ayat ‘wa innaka latulaqqal Qur’ana’ cukup meyakinkan untuk dijadikan dalil bahwa Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ketika menerima wahyu, adalah dengan talaqqi.

 

Ada satu catatan penting yang fundamental sifatnya bagi bagi dunia pendidikan dari ayat ‘wa innaka latulaqqal Qur’ana’ yaitu bahwa inti di dalam talaqqi adalah adanya proses ‘peserta didik’ dipertemukan kepada ‘materi-pembelajaran’ oleh ‘pendidik’.

 

Mengenai bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasalllam di dalam mendapatkan Al-Qur’an adalah dengan proses yang di kemudian hari disebut talaqqi adalah ditegaskan Ibnu ‘Asyur pada waktu mentafsirkan 5 ayat pertama dari Iqra’ bismi Rabbika. Pemuka ahli tafsir dari Tunisia tersebut menyimpulkan: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memperoleh Al-Qur’an yang diwahyukan kepada beliau dengan cara talaqqi.23

 

Memang proses talaqqi cukup tergambar jelas di dalam 5 ayat Al-Qur’an yang diwahyukan pertama kali, Q.S. Al-‘Alaq [96]:1-5 :

 

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ

خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ

اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ

الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ

عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang Menciptakan.

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah

Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (pen.: qalam)

Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” 24

 

Terkait dengan sejarah diturunkannya ayat tersebut, Ummul Mukminin Sayyidah ‘Aisyah Radliyallahu ‘Anha menceritakan: “Tatkala bersemedi di Gua Hira Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam didatangi Malaikat Jibril ‘Alaihis Salam dan berkata,‘Bacalah!’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, ‘Aku bukan orang yang mampu membaca.’ Maka Jibril memegang dan mendekap aku sampai aku terengah-engah lalu dia lepaskan. Dia berkata,’Bacalah!’ Aku menjawab, ‘Aku bukan orang yang mampu membaca.’ Lalu untuk kedua kalinya Jibril ’Alaihis Salam mendekap aku sampai aku terengah-engah lalu dia lepaskan. Dia berkata lagi, ‘Bacalah!’ Aku pun menjawab,’Aku bukan orang yang mampu membaca.’ Lalu dia mendekap aku lagi sampai aku terengah-engah lalu dia pun melepaskan aku. Kemudian Jibril ‘Alaihis Salam berkata: Iqra’ bismi Rabbikalladzi khalaq sampai dengan kata ma lam ya’lam.” 25

 

Perintah iqra’ dari ayat Iqra’ bismi Rabbika antara lain mengandung arti pentingnya membaca, atau bisa diartikan lebih lugas: ‘Bacalah bacaan dari Al-Qur’an yang akan Kami sampaikan kepada kamu.’ 26 Dari sini kita pentingkan untuk digarisbawahi bahwa dalam proposisi Al-Qur’an, di dalam metode talaqqi, seorang peserta didik “hanya” terutama membaca apa saja pelajaran yang sudah diterima dari pendidik. Tidak terhadap yang belum diterima.

 

Kemudian proposisi mengenai tata cara pelaksanaan talaqqi juga terdapat pada ayat-ayat berikut ini:

 

لَا تُحَرِّكْ بِهٖ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهٖۗ

اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهٗ وَقُرْاٰنَهٗۚ

فَاِذَا قَرَأْنٰهُ فَاتَّبِعْ قُرْاٰنَهٗۚ

ثُمَّ اِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهٗ ۗ

 

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.

Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” [ AlQiyamah [75]: 16 - 19 ] 27

 

Sebab diturunkannya 4 ayat ini sebagaimana diceritakan Ibnu ‘Abbas Radliyallahu ‘Anhu : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam manakala telah turun ayat Al-Qur’an kepada maka beliau banyak menggerakkan lisannya (Jawa: ngelalar, pen.) untuk menghapalkannnya karena khawatir ayat itu lolos dari ingatan beliau, atau karena sangat bersemangatnya beliau menghapalkan, maka justeru karena begitu itu beliau menjadi repot sendiri. Lalu Allah ‘Azza Wa Jalla pun menurunkan ayat   

 

لَا تُحَرِّكْ بِهٖ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهٖۗ

اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهٗ وَقُرْاٰنَهٗۚ

Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.

 

Ibnu ‘Abbas Radliyallahu ‘Anhu menerangkan maksudnya: ‘setelah terkumpul atau tersimpan di dadamu baru kemudian bacalah itu.’ 28

 

فَاِذَا قَرَأْنٰهُ فَاتَّبِعْ قُرْاٰنَهٗۚ

ثُمَّ اِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهٗ ۗ

“Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.”

 

Ibnu ‘Abbas Radliyallahu ‘Anhu mentafsiri: ‘Yakni dengarkan dan perhatikanlah itu dengan seksama. Kemudian sungguh menjadi tanggungan Kami (Allah ‘Azza Wa Jalla) untuk menguraikan penjelasan Al-Qur’an itu dengan perantara lisanmu, yakni dengan perantara kamu membacanya’.” 29

 

Kemudian daripada itu, Al-Qur’an telah menunjukkan daya tarik yang luar biasa dalam segala seginya termasuk kisah-kisah yang ada didalamnya. Termasuk kisah Nabi Musa ‘Alaihis Salam berguru dengan cara talaqqi kepada Nabi Khidhir ‘Alaihis Salam. Kisah sangat edukatif ini antara lain terurai di dalam Surat Al-Kahfi ayat 60 – 82.

 

Kisah tersebut bermula ketika suatu saat Nabi Musa ‘Alaihis Salam berdiri berpidato di hadapan kaumnya, Kaum Bani Israil.

 

Nabi Musa ‘Alaihis Salam ditanya oleh mereka: “Siapakah orang yang terpandai di dunia?”

Musa ‘Alaihis Salam menjawab, “Akulah orangnya”.

 

Atas jawaban yang menunjukkan kesombongan ini Allah ‘Azza Wa Jalla menegur Nabi Musa dan berfirman: “Sesungguhnya hamba-Ku Khidhir adalah orang yang lebih pandai dari kamu.”

 

Musa bertanya, “Di mana aku bisa menemuinya?”

 

“Di tempat bertemunya dua lautan”, jawab Allah. 30

 

Kemudian Allah mempertemukan dua manusia yang mulia dan terpuji ini untuk mengadakan hubungan yakni yang satu berguru dengan cara talaqqi kepada yang satunya. Nabi yyullah wa Rasullah Musa ‘Alaihis Salam berguru kepada Nabiyyullah Khidhir ‘Alaihis Salam.

 

Setelah keduanya bertemu terjadilah dialog penting yang memiliki nilai keteladanan dalam konteks kode etik ber-talaqqi, sebagaimana difirmankan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla di dalam Surat Al-Kahfi:

 

قَالَ لَهٗ مُوْسٰى هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلٰٓى اَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

قَالَ اِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيْعَ مَعِيَ صَبْرًا

وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلٰى مَا لَمْ تُحِطْ بِهٖ خُبْرًا

قَالَ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ صَابِرًا وَّلَآ اَعْصِيْ لَكَ اَمْرًا

قَالَ فَاِنِ اتَّبَعْتَنِيْ فَلَا تَسْـَٔلْنِيْ عَنْ شَيْءٍ حَتّٰٓى اُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا ࣖ

Musa berkata kepada Khidhir: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”

Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku."

"Dan bagaimana kamu akan dapat bersabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”

Musa berkata: “Insya Allah akan kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan pun.”

"Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku menerangkannya kepadamu.”

QS. Al-Kahfi [18] : 66-70. 31

 

Dari ayat-ayat di atas, Ibnu ‘Asyur mengambil beberapa poin kesimpulan, antara lain ialah sebagai berikut:

1. Diperbolehkan mengadakan pembicaraan transaksional atas penyelenggaraan pendidikan Al-Qur’an maupun ilmu pengetahuan secara umum. Jikalau kedua pihak, pihak pendidik dan pihak peserta didik, sudah mengadakan dealing maka wajib hukumnya melaksanakan konsekwensinya atas kedua belah pihak. 32

2. Adalah haknya pendidik untuk ditaati peserta didik secara wajib. 33

3. Salah satu hal penting atas seorang pendidik ialah mengingatkan peserta didik akan lika-liku rencana pembelajaran yang akan dilaksanakan. Apalagi yang bersifat sulit dilalui. 34

4. Yang paling harus diperhatikan ialah seorang peserta didik supaya selalu sabar , tahan dan ulet di dalam mengikuti pembelajaran, termasuk dalam poin ini ialah menahan diri dari bersikap “mempertanyakan” terhadap guru.

 

KESIMPULAN

 

1. Definisi talaqqi ialah belajar ilmu agama dan atau belajar baca-hapal al-Qur’an, secara langsung, yakni tatap muka, face to face, kepada orang yang menjadi guru yang mempunyai kompetensi ilmu dan atau baca-hapal al-Qur’an, yang tsiqah, dhabit dan mempunyai sanad keilmuan dan atau al-Qur’an yang muttashil sampai ke Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Talaqqi ini mempunyai urgensi yang tinggi dewasa ini karena supaya umat mendapat hasil belajar ilmu agama yang lebih berkualitas yakni dengan secara langsung kepada seorang atau beberapa guru yang mempunyai kompetensi ilmu dan keteladanan.

 

2. Adapun definisi tafsir tematik merupakan kajian tafsir atas makna ayat-ayat al-Qur’an yang bersama mencerahkan tema tertentu, yang kemudian dideskripsikan secara tematik konseptual melalui petunjuk ayat al-Qur’an itu sendiri atau dengan mengkolaborasikan teks dari sumber lain yang masih sangat erat relevansinya dengan al-Qur’an, seperti teks hadits, aqwal al-sahabat wal-tabi’in bahkan aqwal al-’ulama. Penafsiran al-Qur’an secara tematik merupakan langkah yang tepat dan urgens untuk mengakselerasi proses ”pembumian al-Qur’an” di tengah masyarakat yang akhir-akhir cenderung berbudaya lebih pragmatis, yaitu budaya yang berwatak praktis dan instan.

 

3. Ayat-ayat al-Qur’an beserta tafsir yang mendukung terhadap konsep talaqqi antara lain di dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 37   dan Q.S. An-Naml ayat 6 yang menunjukkan bahwa Nabi terakhir Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bahkan maupun nabi pertama yaitu Nabi Adam ‘Alaihis Salam di dalam memperoleh ilmu pengetahuan, dalam konteks ini adalah wahyu, adalah menggunakan cara talaqqi. Ayat-ayat lain seperti halnya Q.S. Al-‘Alaq ayat 1 - 5, AlQiyamah ayat 16 - 19 ] maupun Q.S. Al-Kahfi ayat 60 - 82 semuanya mengandung tata-cara, kode etik, dan catatan-catatan terkait dengan talaqqi.

 

Wallahu A’lam.

_________________________________

 

1 Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif. Cet. XIV. 1283.

 

2  Wortabet, William Thomson. 1984. Wortabet’s Arabic-English Dictionary. Cet. IV. Beirut-Lebanon: Librairie du Liban. 629.

 

3  Riskha, Kiki Rio. 2019. Implementasi Metode Talaqqi Dalam Meningkatkan Kualitas Hafalan Al-Qur’an Siswa (Studi Komparasi Di SD Kyai Ibrahim Surabaya dan Pusat Pembelajaran Ilmu Al-Qur’an Surabaya). (Tesis). Surabaya: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. 11.

 

4 Ibid. 20.

 

5  Ibid. 11.

 

6  Ibid. 20.

 

7  Halimah, Nur. 2019. Penerapan Metode Talaqqi Untuk Meningkatkan Keterampilan Membaca Dan Memahami Kitab Kuning Di Pondok Pesantren Al-Baqiyatush Shalihat Kuala Tungkal Provinsi Jambi. (Tesis). Jambi: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin. 21.

 

8   Ibn Mandzhur. 1981. Lisan al-‘Arab.Cairo: Dar al-Ma’arif. 3412-3413.

 

 

9  Al-Jormy, Dr. Ibrahim Muhammad. 2001. Mu’jam ‘Ulum al-Qur’an. Damaskus: Dar al-Qalam. 98.

 

10 Al-Dzahabi. Dr. Muhammad Husein. 1976. Al-Tafsir wal-Mufassirun. Cairo: Maktabah Wahbah. Juz I. 14.

 

11  Muhammad, Su’aib H. 2011. Pengembangan Bahan Ajar Tafsir Tematik (Rekayasa Model Indeks al-Qur’an sebagai Alat Bantu Pembelajaran bagi Maha Peserta Didik Berkebutuhan Khusus). (Disertasi). Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel. 34.

 

12  Yusuf, Muhammad, Dr. H. S.Ag., M.Pd.I. 2016. Perkembangan Tafsir Al-Quran Di Sulawesi Selatan (Studi Kritis terhadap Tafesere Akorang Mabbasa Ugi Karya MUI Sulawesi Selatan) (Ringkasan Disertasi) Makassar: Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin. 12.

 

 

13   Muhammad, Su’aib H. 2011. Pengembangan Bahan Ajar Tafsir Tematik…. 59.

 

14   Ibid.

 

15   Departemen Agama Republik Indonesia. 1428 H. Al-Qur`an dan Terjemahnya. Madinah Saudi Arabia: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’ati al- Mushhaf al-Sharif. 16.

 

16  Ibnu ‘Asyur, Muhammad at-Taher. 1984. Tafsir Ibnu ‘Asyur (Tafsirat-Tahrir wat-Tanwir). Tunis: Al-Dar at-Tunisiya. Juz 1. 437.

 

17  Ibid.

 

18  Departemen Agama.. Al-Qur`an dan Terjemahnya.. 593

 

19   Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir…. 1282.

 

20   Ibnu ‘Asyur,Juz 19. 223

 

21   Ibn Mandzhur...4067. 

 

22  Ibnu ‘Asyur,Juz 30. 436.

 

23  Departemen Agama.. Al-Qur`an dan Terjemahnya.. 1079.

 

24  Ibnu ‘Asyur,Juz 30. 436.

25  Ibid.

26  Departemen Agama.. Al-Qur`an dan Terjemahnya.. 999.

27  Ibnu ‘Asyur,Juz 29. 349.

28  Ibid.

29  Ibid.,Juz 15. 361.

30  Departemen Agama.. Al-Qur`an dan Terjemahnya.. 454.

31  Ibnu ‘Asyur,Juz 15. 370.

32  Ibid.

33  Ibnu ‘Asyur,Juz 15. 372.

34  Ibid.

 

BIBLIOGRAFI

 

Al-Dzahabi. Dr. Muhammad Husein. 1976. Al-Tafsir wal-Mufassirun. Cairo: Maktabah Wahbah.

 

Al-Jormy, Dr. Ibrahim Muhammad. 2001. Mu’jam ‘Ulum al-Qur’an. Damaskus: Dar al-Qalam.

 

Departemen Agama Republik Indonesia. 1428 H. Al-Qur`an dan Terjemahnya. Madinah Saudi

                Arabia: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’ati al- Mushhaf al-Sharif.

 

Halimah, Nur. 2019. Penerapan Metode Talaqqi Untuk Meningkatkan Keterampilan Membaca

                Dan Memahami Kitab Kuning Di Pondok Pesantren Al-Baqiyatush Shalihat Kuala

                Tungkal Provinsi Jambi. (Tesis). Jambi: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan

                Thaha Saifuddin.

 

Ibnu ‘Asyur, Muhammad at-Tahir. 1984. Tafsir Ibnu ‘Asyur (Tafsirat-Tahrir wat-Tanwir). Tunis:

                Al-Dar at-Tunisiya.

 

Ibnu Mandzhur. 1981. Lisan al-‘Arab.Cairo: Dar al-Ma’arif.

 

Muhammad, Su’aib H. 2011. Pengembangan Bahan Ajar Tafsir Tematik (Rekayasa Model Indeks

                al-Qur’an sebagai Alat Bantu Pembelajaran bagi Maha Peserta Didik Berkebutuhan

                Khusus). (Disertasi). Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel.

 

Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka

                 Progresif. Cet. XIV.

 

Riskha, Kiki Rio. 2019. Implementasi Metode Talaqqi Dalam Meningkatkan Kualitas Hafalan Al-

                 Qur’an Siswa (Studi Komparasi Di SD Kyai Ibrahim Surabaya dan Pusat

                 Pembelajaran Ilmu Al-Qur’an Surabaya). (Tesis). Surabaya: Pascasarjana Universitas

                 Islam Negeri Sunan Ampel. 11.

 

Wortabet, William Thomson. 1984. Wortabet’s Arabic-English Dictionary. Cet. IV. Beirut-

                 Lebanon: Librairie du Liban.

 

Yusuf, Muhammad, Dr. H. S.Ag., M.Pd.I. 2016. Perkembangan Tafsir Al-Quran Di Sulawesi

                 Selatan (Studi Kritis terhadap Tafesere Akorang Mabbasa Ugi Karya MUI Sulawesi

                 Selatan) (Ringkasan Disertasi) Makassar: Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin.

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Baru Pengajian

COVID-19 MEMAKNAI DAN MENANGGULANGI DALAM SKALA IMAN

Bimbingan Perkawinan di KUA Berbek