KEHEBATAN MAKNA AL BAHRU Keindahan Perbedaan Makna Majazi Saat Bersinergi
KEHEBATAN MAKNA AL BAHRU
Keindahan Perbedaan Makna Majazi Saat Bersinergi
September 2021
Oleh :
Dra. Nihayatul Laili Yuhana, M.Pd.I
Di mana kan menulis kata..
Kehadiran yang
tiba tiba, mengubah hati memasuki jiwa
Jika hati seluas
lautan....tuluspun sedalam lautan ....
Kan redamkan gejolak hati..di dasar lautan...
Walau lautan .......
tak mampu menjadi tinta penulis rasa...
Suara gelombang tak memerdukan teriakan rindu
Dalamnya lautan tak mengungkapkan kata...
Duduk dan diamlah karena lautan yang akan
menelan rasa
Hingga kau semayamkan bagian dirinya dalam
damai bersama aliran air mata
Bait kerinduan di atas adalah
bentuk majaz dari al-bahru yang memiliki dua perbedaan dalam mewakilkan kata. Sebenarnya
sebuah nama al-bahru memang sangat sederhana dari segi makna, oleh karena siapapun
sepakat al-bahru artinya laut, dan laut adalah laut.
Akan tetapi sebagaimana apapun dari yang tampak secara tersurat, maka dipastikan akan adanya makna yang tersirat dari seluruh fenomena dan aktifitas manusia.
Dalam segi makna secara haqiqi, maka kata al-bahru memiliki tinjauan dalam dua prespektif.
Memahami makna “al-bahru” sebagai lautan secara pemahaman biasa adalah sebagai salah satu dari bentuk kuasa Alloh 'Azza Wa Jalla, dalam penciptaan makhluk-NYa. Akan tetapi makhluk ” al-bahru” ini bisa digambarkan juga sebagai air yang sangat banyak, suara riuh gelombang, bahkan kedalaman jangkauan yang tidak akan bisa ditembus titik dasarnya kecuali dengan keilmuan dan dzauq yang jernih untuk menyelaminya.
Perspektif Pertama
Adapun perspektif pertama dari makna “al-bahru" adalah sebuah kesesuaian yang menggambarkan sedikit
ungkapan yang lebih dalam tanpa kontra dengan kenyataan pada sifatnya. Di mana makna “al-bahru”
berkaitan dengan kedalaman, keluasan, suara ombak, dan panorama tanpa batas mata
memandang.
Dengan perspektif pertama ini kemudian
para pecinta dan para perindu mencoba menyelaraskan suasana
hati dan mengungkapkan sesuai dengan sifat yang ada pada “al-bahru” itu
sendiri.
Bahkan menjadikan “al-bahru” sebagai icon dan simbol dari setiap yang bermuatan majaz dalam ungkapan kultur Jawa. Begitu juga diamnya seseorang atas gejolak hati, diungkapkan dengan menyebut “al-bahru”.
Hal ini bisa jadi, sebagai ungkapan bahwa "diamnya seseorang" karena terlalu banyaknya kata yang ingin diungkap, sehingga tidak lagi mampu terwujud menjadi sebuah kata. Ketidak mampuan mengucapkan tersebut bukan habisnya sebuah kata. Sehingga pada kediaman terkadang dilakukan karena ridhonya atas realiti hidup yang ternyata tidak sama dengan keinginannya.
Karena itu diamnya bukan karena tidak memiliki rasa, akan tetapi karena menahan kepedihan hati dengan air matanya. Sehingga memilih diam sebagai sikap, karena jika rasa itu diucapkan maka akan membuat banyak yang lebih terluka. Sikap ini termasuk pengejawantahan idiom Jawa "nerimo ing pandum".
Perspektif Kedua
Adapun perspektif kedua dari lafadz “al-bahru” dimaknai dengan ungkapan
ketidaksesuaian dengan realiti hatinya. Hal ini karena ungkapan pujangga yang
merasakan hebatnya gejolak rasa yang ada.
Walau lautan .......Tak mampu menjadi tinta penulis rasa. Suara gelombang tak memerdukan teriakan rindu. Dalamnya lautan tak mengungkapkan kata...Duduk dan diamlah karena Lautan yang akan menelan rasa . Hingga kau semayamkan bagian dirinya dalam damai bersama aliran airmata
Kedua perspektif tersebut sebenarnya merupakan manifestasi adanya pengakuan yang
besar yang diungkap dengan skala banding. Dan ternyata perspektif yang dihasilkan dari kolaborasi keduanya
justru memiliki makna terdalamnya yaitu KEHEBATAN.
Al-Qur'an juga menggunakan lafadz “al-bahru” sebagai ungkapan. Sebagaimana
kehebatan dalam ungkapan rasa maka kehebatan tidak mampunya “al-bahru” justru menunjukkan kemahabesaran Tuhan. Sebagaimana
ungakapan firman Alloh 'Azza Wa Jalla dalam Q.S. al-Kahfi (18): 109:
قُلْ لَوْ
كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ
تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
"Katakanlah: Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)."
Begitu juga dalam Q.S. Luqmân (31): 27 sebagai berikut :
وَلَوْ
أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ
بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ
"Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)-nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Wallohu A'lam.
Komentar
Posting Komentar