Refleksi HAN 23 Juli

Gambar: Logo Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) Tahun 2021


PERLINDUNGAN ANAK DALAM ISLAM

Juli 2021

Oleh :

Dra. Nihayatul Laili Yuhana, M.Pd.I

PENYULUH AGAMA ISLAM FUNGSIONAL 

KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN NGANJUK


Peringatan Hari Anak Nasional

Setiap tanggal 23 Juli bangsa Indonesia memperingati Hari Anak Nasional (HAN), sebaimana hari ini, Jum'at tanggal 23 Juli tahun 2021.

Penetapan tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional dimulai sejak Presiden RI ke-2, Bapak Jenderal Soeharto, mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 44/1984 yang memutuskan bahwa Hari Anak Nasional diperingati setiap tanggal 23 Juli.

Pemilihan tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional diselaraskan dengan pengesahan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak pada tanggal 23 Juli 1979.

HAN merupakan momentum penting untuk menggugah kepedulian dan partisipasi seluruh komponen bangsa Indonesia dalam menjamin pemenuhan hak anak atas hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pedoman Hari Anak Nasional 2021 yang dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) RI menyebutkan, HAN 2021 mengangkat tema "Anak Terlindungi, Indonesia Maju."

Sehubungan dengan tema peringatan HAN 2021 tersebut, penulis ingin menguraikan sedikit bahan refleksi mengenai perlindungan anak dalam pandangan Islam.

Perlindungan Anak dalam Islam 

Dalam Al-Qur'an Allah 'Azza Wa Jalla berfirman: "Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir (terhadap kesejahteraannya). Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan berbicara dengan tutur kata yang benar." (Q.S. Annisa: 9).

Kandungan ayat tersebut memerintahkan agar kita memiliki rasa khawatir meninggalkan anak keturunan yang lemah. Lemah dalam hal fisik, psikis, ekonomi, kesehatan, intelektual, moral dan lain sebagainya. 

Ayat itu juga mengandung pesan agar kita melindungi anak cucu kita bahkan yang belum lahir sekalipun. Jauh-jauh hari, jangan sampai nanti ia lahir dalam keadaan tidak sehat, tidak cerdas, kurang gizi, dan terlantar tidak terpelihara. 

Kemudian, lebih dari itu, sebagai pembawa agama rahmat, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah banyak memberikan contoh-contoh praktis dalam memberikan perlindungan terhadap anak. 

Di antaranya adalah: 

a. Menyayangi anak meskipun anak zina 

Kasih sayang merupakan sifat dasar manusia untuk melindungi. Jika seseorang sayang pada sesuatu pasti ia akan berusaha sekuat tenaga untuk melindunginya. 

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah orang yang paling penyayang terhadap anak-anak dan memerintahkan orang yang tua untuk menyayangi anak atau orang yang lebih muda.

Beliau bersabda: "Tidaklah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi kaum muda dan tidak menghormati kaum tua." (HR. Tirmidzi).

Dalam hadis lain: "Siapa yang tidak menyayangi maka tidak disayangi." (HR. Bukhari).

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah mempercepat salatnya ketika mendengar tangisan seorang bayi karena khawatir ibunya gelisah sehingga terganggu salatnya. 

Dalam kisah lain, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah salat dan sujudnya agak lama. Ternyata ada cucunya Hasan dan Husain menunggangi punggungnya. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak sampai hati bangun dari sujud khawatir cucunya terlepas atau terjatuh. 

Ini merupakan tanda bahwa beliau seorang penyayang dan pelindung terhadap anak-anak. 

Bahkan terhadap anak zina sekalipun Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam melimpahkan kasih sayang. 

Ini dapat dilihat dari kasus wanita Bani al-Ghamidiyah. Ia datang pada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan melaporkan bahwa dirinya hamil dari hasil zina dan meminta keputusan hukum. 

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata, "Pulanglah, sampai engkau melahirkan."

Ketika ia telah melahirkan, ia datang lagi kepada Nabi dengan membawa bayinya. 

Nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata, "Pergilah, kemudian susuilah anakmu itu sampai engkau menyapihnya."

Setelah selesai menyapih, ia datang lagi kepada Nabi bersama bayi, maka Nabi menyerahkan bayi itu kepada laki-laki muslim untuk dirawat. Setelah itu wanita tersebut dijatuhi hukuman rajam. (H.R. Muslim). 

Dua contoh tersebut menunjukkan bahwa betapa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengutamakan dan melindungi kepentingan anak.

Pada contoh yang pertama dapat dipahami bahwa perbuatan ibadah sekalipun tidak boleh mengabaikan kepentingan anak.

Pada contoh kedua, memberi gambaran penegakan hukum harus tetap dilaksanakan dengan tidak menafikan kepentingan terbaik bagi anak dengan cara memberi kesempatan pada si ibu memberikan hak yang layak bagi si anak, yaitu hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar di dalam kandungan, hak dilahirkan dan hak mendapatkan ASI. 

Meskipun si ibu melakukan perbuatan yang melanggar hukum, anak yang sedang dikandungnya tetap dilindungi dan tidak boleh dirugikan karena perbuatan salah sang ibu. 

b. Berlaku adil dalam pemberian.

Islam sangat tegas dan konsisten dalam menerapkan prinsip non-diskriminasi terhadap anak. Banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan umat manusia untuk berbuat adil terhadap anak-anak: 

"Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (Q.S. al-Ma-idah: 8). 

Di dalam ayat yang lain Allah berfirman: "..Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil." (Q.S. an-Nisa: 127). 

Perintah untuk berlaku adil dan tidak membeda-bedakan anak atas jenis kelaminnya juga dijelaskan dalam beberapa hadits, di antaranya:

"Berbuat adillah di antara anak-anakmu, berbuat adillah di antara anak-anakmu, berbuat adillah di antara anak-anakmu." (H.R. As-habus Sunan, Imam Ahmad dan Ibnu Hibban). 

Perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada para orangtua untuk berbuat adil terhadap anak-anaknya dilakukan dalam semua pemberian, baik berupa pemberian harta (materi) maupun kasih sayang (immateri). 

Berikut perintah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam agar orang tua berbuat adil dalam hal pemberian (materi) terhadap anak-anaknya. 

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Samakanlah di antara anak-anak kalian dalam pemberian." (H.R.Thabrani). 

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah tidak mau menjadi saksi terhadap perkara Nukman bin Basyir yang menghibahkan harta kepada salah satu anak laki-lakinya dari seorang istri bernama Ammarah binti Rawahah. Akhirnya Nukman mencabut kembali hibahnya. 

Dalam hal pemberian kasih sayang (immateri), Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga sangat menganjurkan kepada orangtua agar berlaku adil. 

Diriwayatkan oleh Anas, bahwa seorang laki-laki berada di sisi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, kemudian datanglah seorang anak laki-lakinya. Lalu ia mencium dan mendudukkannya di atas pangkuannya. Setelah itu datanglah anak perempuannya, tidak dipangku sebagaimana anak laki-lakinya, hanya didudukkan di depan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. 

Atas peristiwa itu Rasulullah SAW bersabda: "Mengapa engkau tidak menyamakan keduanya?" (H.R. al-Bazzar).

c. Menjaga nama baik anak.

Terhadap anak kecil sekalipun Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengajarkan pada kita untuk menghargai dan menjaga nama baiknya. Tidak boleh mencela atau berkata kasar pada anak. 

Anas bin Malik, seorang sahabat yang ikut membantu rumah tangga Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam sejak kecil, menuturkan bahwa selama 10 tahun di sana Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah menghardik atau mengeluarkan kata-kata kasar. (H.R. Muslim).

Imam Ghazali sangat mencela orang tua yang menghardik atau merendahkan anak. Menurutnya jika anak terbiasa direndahkan dan dihardik ia akan terbiasa sehingga ia tidak menghiraukan lagi apa yang dikatakan orang tuanya. Ini juga akan berdampak pada perkembangan kepribadiannya menjadi orang bodoh dan lemah.

d. Segera mencari jika anak hilang.

Salman al-Farisi dalam riwayatnya mengatakan: Ketika kami sedang duduk di sekitar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, tiba-tiba datanglah Ummu Aiman dengan langkah yang bergegas melaporkan: 

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami kehilangan al-Hasan dan al Husain."

Nabi segera memerintahkan: "Bangkitlah kalian semua, carilah kedua anakku itu!"

Tiap-tiap orang pun segera pergi ke segala arah, sedangkan aku pergi bersama Nabi dan beliau terus mencari hingga sampai ke sebuah lereng bukit. 

Ternyata di sana dijumpai al-Hasan dan al-Husain saling berpelukan erat ketakutan karena di dekat mereka ada seekor ular. Dengan segera Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wasallam mengusir ular-ular itu sehingga menghilang ke dalam celah-celah bebatuan.

e. Melindungi anak dari pergaulan yang buruk.

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah berpesan berkaitan dengan pergaulan anak: hendaklah orang tua mencarikan teman bergaul yang baik. 

Dalam sebuah hadis beliau bersabda: "Seseorang itu mengikuti agama teman dekatnya. Oleh sebab itu hendaklah seseorang memperhatikan siapa yang menjadi teman dekatnya." (H.R. Abu Dawud).

Hadits di atas menerangkan bahaya teman duduk yang buruk begitu pula bergaul dengan orang-orang yang jahat serta menjadikan mereka teman dekat sama bahayanya.

Agama yang dimaksud hadits di atas adalah cara hidup atau tingkah laku sehari-hari. 

Jadi jika ingin anak kita menjadi orang baik maka carikanlah teman bergaul yang cara hidup dan tingkah lakunya baik. 

Ibnu Sina pernah mengatakan, bahwa hendaknya seorang anak bergaul dengan anak-anak sebayanya yang memiliki etika yang lebih baik dan perangai yang terpuji. Hal itu karena sesungguhnya pengaruh seorang anak terhadap anak lain yang seusia lebih mendalam, lebih berkesan dan lebih dekat dengannya.

f. Melindungi anak dari kekerasan.

Islam sangat mencela kekerasan terlebih pada anak-anak. Nabi Shallahu 'Alaihi Wasallam sendiri telah mencontohkan bahwa beliau tidak pernah melakukan pemukulan terhadap anak, istri, atau pembantu sekalipun. 

Sayyidah 'Aisyah meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak penah memukul dengan tangannya terhadap istri atau pelayan. Beliau hanya memukul jika sedang berperang di jalan Allah (H.R. Muslim). 

Adapun petunjuk hadits yang membolehkan pemukulan terhadap anak jika telah berumur sepuluh tahun, perlu mendapatkan penjelasan. 

Jamal Abdurrahman, tokoh pendidikan Islam, menyebutkan kebolehan pemukulan jika telah memenuhi syarat sebagai berikut: 

1) Kebolehan memukul jika anak sudah menginjak usia 10 tahun ke atas. Itu juga dalam perkara penting seperti salat yang wajib bukan lainnya. 

2) Pukulan tidak boleh berlebihan sehingga mencederai. Nabi Shallahu 'Alaihi Wasallam membolehkan pukulan tidak lebih dari 10 kali pukulan. 'Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan para gubernur untuk diteruskan kepada para guru (mu'allim) agar tidak memukul muridnya lebih dari tiga kali berturut-turut. 

3) Sarana yang digunakan adalah bahan yang tidak membahayakan dan objek yang dipukul juga bukan bagian fisik yang vital. 

4) Pemukulan dilakukan dengan hati-hati dan tidak keras, yaitu jangan sampai mengangkat ketiak.

Meskipun pemukulan dibolehkan tetapi diusahakan sebagai pilihan terakhir. Akan lebih baik lagi jika kita tidak menghukum dengan pemukulan sebagaimana yang Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wasallam contohkan. 

g. Melindungi anak dari kejahatan mahluk halus.

Islam tidak saja melindungi anak dari keburukan atau kejahatan mahluk yang nyata tetapi juga dari mahluk halus yang tidak nyata. 

Salah satu caranya adalah dengan berdoa atau membacakan dzikir. Ini artinya mahluk halus itu di luar jangkauan kita untuk mengatasinya oleh sebeb itu kita mohonkan langsung pada Allah perlindungannya. 

Ibnu 'Abbas menceritakan, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam selalu membacakan ta'awwudz (bacaan mohon perlindungan) untuk al-Hasan dan al-Husain. 

Dalam riwayat lain, 'Aisyah menceritakan, bahwa Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah mendengar tangisan bayi kemudian beliau mendatangi rumahnya dan bertanya, "Kenapa bayi kalian menangis, mengapa tidak kalian ruqyah (jampi) dia dari penyakit 'ain?" (H.R. Ahmad). 

h. Menjaga anak dari penelantaran dengan jaminan nafkah.

Orang tua tidak boleh menelantarkan kebutuhan anaknya baik sandang maupun pangan. 

Allah berfirman, "Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut." (Q.S. Al-Baqarah: 233).

Penelantaran kebutuhan anak merupakan suatu dosa bagi orang tua. 

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Cukup berdosa seseorang yang menyia-nyiakan nafkah orang yang menjadi tanggungannya." (H.R. Abu Dawud dan Ahmad). 

Dikisahkan, ada seorang bekas budak Abdullah bin 'Amr berniat satu bulan bemukim di Baitul Maqdis.

Abdullah bertanya kepadanya, "Apakah engkau telah meninggalkan nafkah yang mencukupi keluargamu untuk satu bulan?"

Orang itu menjawab, "Tidak."

Maka Abdullah menyuruhnya kembali agar terlebih dahulu mencukupi nafkah untuk satu bulan kepergiannya. 

Riwayat-riwayat di atas cukup jelas mengambarkan bahwa dalam agama Islam anak wajib mendapatkan perlindungan. 

Islam memandang anak sebagai karunia yang mahal harganya yang berstatus suci. Karunia yang mahal ini sebagai amanah yang harus dijaga dan dilindungi oleh orang tua khususnya.

Islam telah memberikan perhatian yang besar terhadap perlindungan anak-anak. Perlindungan dalam Islam meliputi fisik, psikis, intelektual, moral, ekonomi, dan lainnya. 

Hal itu dijabarkan dalam bentuk memenuhi semua hak-haknya, menjamin kebutuhan sandang dan pangannya, menjaga nama baik dan martabatnya, menjaga kesehatannya, memilihkan teman bergaul yang baik, menghindarkan dari kekerasan, dan lain-lain. Wallohu A'lam.

SELAMAT HARI ANAK NASIONAL 2021:
ANAK TERLINDUNGI, INDONESIA MAJU.


------------------- 

Sumber:

https://tirto.id/hari-anak-nasional-23-juli-sejarah-logo-tema-peringatan-han-2021-ghUf

Zaki, Muhammad. (2014). Perlindungan Anak Dalam Perspektif Islam , di dalam Jurnal ASAS, Vol.6, No.2, Juli 2014. Lampung: IAIN Raden Intan. 1-15.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Baru Pengajian

COVID-19 MEMAKNAI DAN MENANGGULANGI DALAM SKALA IMAN

Bimbingan Perkawinan di KUA Berbek